
PUSAT KESEHATAN : Demam Berdarah Dengue (DBD) tetap menjadi penyakit endemis di negara tropis dan subtropis. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan suhu global, pola hujan tidak menentu, dan urbanisasi masif telah memperburuk penyebaran virus dengue. Pada 2023, negara seperti Indonesia, Brasil, India, dan Bangladesh melaporkan lonjakan kasus DBD 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata tahun sebelumnya. Artikel ini membahas bagaimana perubahan iklim mempercepat krisis ini dan langkah-langkah penanganannya.
Data Terkini: DBD di Era Perubahan Iklim
- Indonesia: Kementerian Kesehatan RI melaporkan 112.000+ kasus DBD hingga September 2023, dengan kematian mencapai 1.000+ orang. Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat termasuk yang tertinggi.
- Brasil: Kasus DBD naik 45% pada 2023, dengan 2,3 juta infeksi dan 800+ kematian.
- Asia Selatan: Bangladesh menghadapi wabah terburuk dalam sejarah dengan 250.000+ kasus, sementara Nepal dan Pakistan juga melaporkan peningkatan signifikan.
Mengapa Perubahan Iklim Memicu Lonjakan DBD?
- Suhu yang Menghangat
- Nyamuk Aedes aegypti (pembawa virus dengue) berkembang biak optimal di suhu 25–30°C. Kenaikan suhu global memperpendek siklus hidup nyamuk dan meningkatkan kecepatan replikasi virus di dalam tubuhnya.
- Studi di Journal of Climate Change and Health (2023) menyebut, kenaikan 1°C suhu rata-rata dapat meningkatkan risiko DBD 10–15%.
- Pola Hujan Ekstrem
- Musim hujan yang lebih panjang dan intens menciptakan genangan air (tempat berkembang biak nyamuk). Banjir juga mengganggu program fogging dan pengelolaan sampah.
- Di Indonesia, fenomena La Niña tahun 2023 menyebabkan curah hujan tinggi di luar musim, memicu ledakan populasi nyamuk.
- Urbanisasi dan Perilaku Manusia
- Permukiman padat dengan sanitasi buruk, penumpukan sampah plastik, dan kebiasaan menyimpan air bersih (bak mandi, tempayan) menjadi habitat ideal Aedes aegypti.
- Migrasi penduduk dari daerah endemis ke wilayah baru juga memperluas penyebaran virus.
Dampak terhadap Sistem Kesehatan
- Rumah Sakit Overload: Fasilitas kesehatan di daerah endemis kewalahan menghadapi pasien DBD, terutama anak-anak.
- Biaya Ekonomi: WHO memperkirakan kerugian global akibat DBD mencapai USD 8,9 miliar/tahun (biaya pengobatan, produktivitas hilang).
- Ketimpangan Akses: Masyarakat miskin di daerah terpencil sulit menjangkau layanan kesehatan dan pencegahan.
Inovasi dan Strategi Penanganan
- Teknologi Wolbachia
- Nyamuk Aedes aegypti yang diinfeksi bakteri Wolbachia (tidak mampu menularkan dengue) telah dilepasliarkan di Yogyakarta (Indonesia) dan Rio de Janeiro (Brasil). Riset menunjukkan penurunan kasus DBD 77% di area uji coba.
- Vaksin Dengue Generasi Baru
- Vaksin Qdenga® (Takeda) telah disetujui di Indonesia, Brasil, dan Uni Eropa. Vaksin ini efektif melawan 4 serotipe dengue dengan efikasi 80%.
- Vaksin TV003 (NIH AS) sedang diuji coba di Bangladesh dengan pendekatan “herd immunity”.
- Early Warning System Berbasis AI
- Platform seperti DengueTrack (Singapura) dan E-Dengue (Malaysia) menggunakan data cuaca, kepadatan penduduk, dan riwayat kasus untuk memprediksi wabah.
- Di Indonesia, Kemenkes mengembangkan Sistem Kewaspadaan Dini DBD terintegrasi dengan data BMKG.
- Partisipasi Masyarakat
- Gerakan 3M Plus (Menguras, Menutup, Mendaur Ulang + Menghindari Gigitan Nyamuk) digencarkan melalui kampanye digital dan komunitas.
- Inisiatif “Jumantik” (Juru Pemantau Jentik) melibatkan warga untuk memantau tempat berkembang biak nyamuk.
Tantangan dan Rekomendasi
- Adaptasi Perubahan Iklim
- Perlu investasi dalam infrastruktur tahan banjir dan sistem drainase perkotaan.
- Penghijauan kota untuk mengurangi efek urban heat island yang memperparah perkembangbiakan nyamuk.
- Penguatan Sistem Kesehatan
- Pelatihan tenaga medis dalam penanganan DBD berat (syok dengue) di daerah terpencil.
- Distribusi rapid test antigen NS1 yang lebih merata untuk diagnosis dini.
- Kolaborasi Global
- Negara-negara G20 perlu meningkatkan pendanaan riset vaksin dan pengendalian vektor.
- Pertukaran data epidemiologi lintas negara untuk memantau pergerakan virus dengue.
Proyeksi ke Depan
- WHO memperingatkan bahwa 50% populasi global akan berisiko terpapar DBD pada 2030 jika perubahan iklim tidak dikendalikan.
- Wilayah yang sebelumnya tidak endemis, seperti Eropa Selatan (Spanyol, Italia) dan AS bagian selatan, mulai melaporkan kasus autochthonous (penularan lokal).
Lonjakan kasus DBD tidak bisa dipisahkan dari krisis iklim. Penanganannya memerlukan pendekatan holistik: dari teknologi vaksin hingga pemberdayaan masyarakat. Tanpa aksi nyata mengurangi emisi karbon dan memperkuat ketahanan kesehatan, ancaman DBD akan semakin sulit dikendalikan di masa depan.