
PUSAT KESEHATAN : Di tengah lonjakan polusi udara global yang memicu 9 juta kematian per tahun, para ilmuwan di Tiongkok meluncurkan inovasi radikal: paru-paru buatan biodegradable. Alat ini dirancang untuk dipasang di area publik atau bahkan ditanam di tubuh manusia, bertindak sebagai “penyaring hidup” untuk partikel beracun seperti PM2.5, logam berat, dan gas karsinogenik. Namun, teknologi ini menuai pro-kontra: Apakah ini solusi berkelanjutan atau sekadar “plester” untuk masalah sistemik?
Paru-Paru Buatan: Cara Kerja dan Desain Revolusioner
Paru-paru buatan ini terinspirasi oleh struktur alveolus manusia, tetapi dibuat dari bahan biodegradable (seperti polimer berbasis tanaman dan nano-selulosa) yang mampu menyerap dan mengurai polutan. Berikut fitur utamanya:
- Filter Nano Berbasis Enzim: Partikel PM2.5 dipecah oleh enzim sintetis yang meniru sistem imun manusia.
- Sistem Pembuangan Otomatis: Polutan yang terkumpul diubah menjadi senyawa tidak beracun dan dikeluarkan sebagai uap air atau garam mineral.
- Adaptif dengan Lingkungan: Menggunakan sensor AI untuk menyesuaikan daya filtrasi berdasarkan tingkat polusi—misalnya, meningkatkan kapasitas saat kebakaran hutan atau kemacetan.
Di kota-kota seperti Beijing dan Delhi, paru-paru buatan raksasa (seukuran gedung 5 lantai) dipasang di pusat keramaian. Sementara versi portabel sebesar masker wajah digunakan oleh pekerja di luar ruangan.
Aplikasi di Lapangan
- Stasiun Udara Bersih di Perkotaan
“Oasis udara” ini dibangun di halte bus, taman, dan sekolah. Pengunjung bisa menghirup udara yang telah disaring 99% partikel berbahaya, dengan kadar oksigen setara pegunungan. - Implan untuk Pasien Kronis
Pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) atau asma berat menerima implan paru-paru mini di bronkiolus. Alat ini bekerja bersama jaringan tubuh dan terurai dalam 2 tahun setelah polusi berkurang. - Integrasi dengan Smart City
Data polusi yang dikumpulkan paru-paru buatan digunakan untuk memprediksi kualitas udara, mengatur lalu lintas, atau mengontrol emisi pabrik secara otomatis. - Tanggap Darurat Bencana
Saat kebakaran hutan atau ledakan pabrik, drone membawa paru-paru buatan portabel ke lokasi untuk menyaring udara bagi tim evakuasi.
Kontroversi: Solusi atau Ilusi?
Meski dianggap sebagai terobosan, teknologi ini menghadapi kritik pedas:
- Mengalihkan dari Akar Masalah
Aktivis lingkungan menuduh pemerintah dan korporasi menggunakan paru-paru buatan sebagai alasan untuk tidak mengurangi emisi karbon. “Ini seperti memberi obat penenang pada Bumi yang sekarat,” protes Greta Thunberg dalam KTT Iklim 2025. - Risiko Kesehatan Jangka Panjang
Studi awal menunjukkan partikel nano dari bahan biodegradable mungkin memicu reaksi autoimun pada 2% pengguna. - Biaya dan Ketimpangan
Biaya pemasangan satu unit paru-paru buatan raksasa mencapai $10 juta. Akibatnya, kota miskin tetap terpapar polusi, sementara kota kaya menikmati udara bersih. - Dampak Ekologis
Bahan biodegradable yang terakumulasi di tanah berpotensi mengganggu mikroorganisme lokal.
Kisah Sukses: Jakarta Mengurangi 40% Kasus ISPA
Setelah memasang 50 unit paru-paru buatan di kawasan industri dan sekolah, DKI Jakarta melaporkan penurunan drastis infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak-anak. “Ini langkah darurat sementara kami memperbaiki transportasi umum dan mengontrol emisi,” jelas Gubernur Heru Budi Hartono.
Paru-paru buatan biodegradable mencerminkan paradoks dunia modern: kecerdasan manusia menciptakan teknologi penyelamat, tetapi juga menjadi tawanan dari kerusakan yang ia perbuat. Inovasi ini mungkin bukan jawaban akhir, namun setidaknya memberi harapan bagi miliaran orang yang terjebak di kota-kota beracun. Tantangan sebenarnya tetap ada: akankah teknologi ini menjadi pemicu perubahan sistemik, atau sekadar alat untuk membeli waktu?