
Jakarta, 2025 – Data terbaru Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan lonjakan kasus penyakit paru kronis di Indonesia, terutama di kota-kota besar. 40% penduduk Jakarta dilaporkan mengalami gangguan pernapasan, mulai dari asma hingga PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), didorong oleh tingkat polusi udara yang tetap tinggi meski kebijakan kendaraan listrik dan energi hijau telah diimplementasikan. Ancaman ini memaksa pemerintah dan masyarakat untuk mencari solusi inovatif di tengah paradoks kemajuan teknologi dan degradasi lingkungan.
Akar Masalah: Polusi yang Tak Tersentuh Kemajuan
Meski 80% kendaraan di Jakarta telah bertenaga listrik pada 2025, polusi PM2.5 masih bertahan di angka 65 µg/m³ (2.5x ambang batas WHO). Penyebab utamanya adalah:
- Emisi industri yang tidak terkendali, terutama di kawasan Cikarang dan Karawang.
- Polusi lintas batas dari kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, diperparah oleh fenomena El Niño.
- Debu konstruksi proyek infrastruktur seperti IKN Nusantara dan kereta cepat Jakarta-Bandung fase II.
“Kami seperti berlari di treadmill. Di satu sisi, teknologi bersih berkembang, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi masih bergantung pada industri padat polusi,” ujar Dirjen Pengendalian Pencemaran KLHK, Prof. Siti Nurbaya.
Dampak Kesehatan: Generasi Muda Terancam
- Anak-anak sebagai korban utama: Riset RS Persahabatan Jakarta menunjukkan 1 dari 5 balita menderita bronkitis kronis akibat paparan PM2.5.
- Kenaikan biaya kesehatan: BPJS mencatat klaim penyakit paru meningkat 120% sejak 2023, membebani anggaran hingga Rp 15 triliun/tahun.
- Kesenjangan akses: Alat nebulizer dan oksigen konsentrator masih langka di puskesmas Papua, sementara di Jawa Barat, “Klinik Oksigen Gratis” didirikan untuk warga miskin.
Solusi Teknologi: CityCanopy dan Masker Cerdas
Pemerintah merespons dengan mempercepat proyek CityCanopy – instalasi 100 menara penyaring udara raksasa di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Dilengkapi sensor IoT dan AI, menara ini mampu menyaring 80% partikel PM2.5 dalam radius 500 meter. Hasil awal menunjukkan penurunan 25% kasus asma di sekitar Stasiun Bundaran HI.
Inovasi lain yang muncul:
- Masker cerdas “NafasGuard”: Diproduksi startup Bandung, masker ini dilengkapi display AR yang menunjukkan kualitas udara dan memberi peringatan via aplikasi.
- Drone penghujan buatan: BPPT menguji drone yang menyemai garam perak iodida untuk “mencuci” udara kotor sebelum hujan turun.
- Pohon bio-solar: Riset ITB menciptakan pohon sintetis dengan mikroalga penyerap CO2, dipasang di jalur macet seperti Gatot Subroto.
Tantangan dan Kritik
- Biaya tinggi: Pemeliharaan CityCanopy menghabiskan Rp 2 triliun/tahun, memicu protes agar dana dialihkan ke sektor lain.
- Efektivitas terbatas: Walikota Jakarta dianggap gagal mengurangi polusi sumber tetap seperti PLTU Batang.
- Ketergantungan teknologi: Masyarakat dianggap abai terhadap solusi alami seperti penghijauan karena mengandalkan filter udara.
“Teknologi hanya tempelan. Akar masalahnya adalah kebijakan yang membiarkan industri mengorbankan kesehatan warga,” kritik Ainun Najib, aktivis lingkungan dari ICEL.
Kisah Warga: “Saya Jual Rumah demi Anak Bisa Bernapas Lega”
Budi Hartono (37), mantan sopir taksi online, terpaksa menjual rumah di Kemayoran untuk pindah ke Bogor. “Sejak 2023, anak saya sering sesak napas. Dokter bilai paru-parunya seperti paru-paru perokok 40 tahun,” katanya. Kini, ia bekerja sebagai penjaga menara CityCanopy sambil berharap proyek ini bisa menyelamatkan generasi mendatang.
Polusi udara dan penyakit paru kronis adalah cerminan kegagalan kolektif dalam memaknai “pembangunan berkelanjutan”. Di tengah deru mesin pembersih udara dan janji teknologi, pertanyaannya tetap sama: Akankah anak cucu kita mengenal langit biru, atau hanya legenda dari video TikTok masa lalu?