Bangkok/Phnom Penh 28 Juli 2025

PUSATNEWS, Pemerintah Thailand dan Kamboja menyatakan kesediaannya untuk duduk bersama dalam pembicaraan gencatan senjata resmi, menyusul bentrokan bersenjata selama hampir sepekan di wilayah perbatasan. Langkah ini muncul setelah adanya intervensi diplomatik dari mantan Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, yang menawarkan diri sebagai mediator independen.
Pengumuman ini disampaikan secara terpisah oleh Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet, yang menegaskan komitmen masing-masing negara untuk menghindari eskalasi lebih lanjut dan mencegah krisis kemanusiaan yang lebih luas.
“Kami terbuka untuk dialog yang jujur dan setara demi meredakan ketegangan dan mengutamakan kepentingan rakyat kami,” ujar PM Hun Manet dalam konferensi pers terbatas di Phnom Penh.
Konteks Konflik: 6 Hari Bentrokan, 100.000 Mengungsi
Sejak 22 Juli 2025, konflik bersenjata meletus di sepanjang wilayah perbatasan Preah Vihear–Sisaket, melibatkan infanteri dan artileri berat dari kedua pihak. Setidaknya 93 orang tewas dan lebih dari 100.000 warga sipil dari kedua negara telah mengungsi, menurut data Palang Merah Asia Tenggara.
Kedua negara saling menuduh pihak lawan melanggar batas wilayah dan menyerang pos militer
Peran Donald Trump: Mediasi Tak Resmi, Tapi Efektif
Dalam sebuah pernyataan melalui platform miliknya, Truth Social, Donald Trump menyatakan bahwa ia telah melakukan “pembicaraan pribadi dan konstruktif” dengan kedua pemimpin.
“Saya berbicara langsung dengan kedua pemimpin hebat dari Thailand dan Kamboja. Kita akan bawa kedamaian di Asia Tenggara. Saya siap bantu mereka untuk membuat kesepakatan besar,” tulis Trump, yang saat ini mencalonkan diri kembali dalam pemilu presiden AS 2026.
Meskipun bukan pejabat pemerintah aktif, Trump dikabarkan memanfaatkan jaringan diplomatik dan personalnya di kawasan Indo-Pasifik untuk menjembatani komunikasi awal kedua pihak.
Rencana Pertemuan: Singapura Jadi Tuan Rumah
Pemerintah Singapura menyatakan kesiapannya untuk menjadi tuan rumah pembicaraan gencatan senjata awal, yang dijadwalkan berlangsung pada 30 Juli 2025. Pertemuan tersebut akan dihadiri oleh delegasi tingkat tinggi dari kedua negara, serta perwakilan dari ASEAN dan pengamat independen dari PBB.
“Singapura mendukung penuh perdamaian dan stabilitas regional. Kami siap fasilitasi ruang netral untuk dialog terbuka,” ujar Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan.
Reaksi Regional dan Internasional
Langkah menuju negosiasi damai disambut baik oleh ASEAN, yang sejak awal mendesak kedua negara untuk menahan diri dan menekankan pentingnya penyelesaian damai. Sekjen ASEAN Kao Kim Hourn mengatakan bahwa inisiatif ini bisa menjadi preseden penting bagi penyelesaian konflik bilateral di Asia Tenggara.
Amerika Serikat, melalui Departemen Luar Negeri, juga menyambut baik perkembangan tersebut namun menegaskan bahwa mediasi formal tetap harus berada di bawah kerangka diplomatik resmi.
Tantangan Menuju Perdamaian Jangka Panjang
Meski pembicaraan gencatan senjata menjadi sinyal positif, para analis memperingatkan bahwa perbedaan historis mengenai klaim wilayah dan ketegangan nasionalisme domestik dapat menjadi hambatan jangka panjang.
Namun, kesediaan kedua pihak untuk berbicara—meski difasilitasi oleh tokoh non-resmi seperti Trump—menandakan adanya peluang nyata bagi de-eskalasi dan rekonsiliasi.