Jakarta, 2 Juli 2025

PUSATNEWS, Kekhawatiran publik terhadap potensi penyadapan komunikasi pribadi kembali mencuat setelah sejumlah laporan menyebutkan bahwa pemerintah memiliki kemampuan teknis untuk mengakses percakapan melalui nomor telepon seluler. Meskipun tidak ada bukti keterlibatan langsung terhadap penyadapan massal, isu ini memantik diskusi nasional tentang batas kewenangan negara terhadap privasi warganya di era digital.
Menurut laporan investigasi dari lembaga advokasi digital SAFEnet, terdapat kekhawatiran bahwa kerja sama operator telekomunikasi dengan lembaga penegak hukum — tanpa transparansi — bisa membuka celah penyalahgunaan data pengguna.
“Masyarakat harus tahu bahwa nomor telepon yang mereka daftarkan dengan KTP dan KK dapat diakses sistem intelijen dengan persetujuan institusi tertentu, bahkan tanpa sepengetahuan pengguna,” ujar Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet.
Aturan Hukum: Legal atau Pelanggaran?
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum, terutama dalam konteks penegakan hukum, keamanan nasional, dan pemberantasan terorisme. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Cipta Kerja yang memberikan wewenang kepada aparat untuk meminta data dari penyelenggara sistem elektronik.
“Tidak ada penyadapan sembarangan. Semua dilakukan berdasarkan permintaan resmi dan disupervisi ketat oleh pengadilan,” ujar juru bicara Kominfo, Dr. Ari Kristianto.
Namun, sejumlah ahli hukum menilai bahwa definisi “permintaan resmi” masih terlalu luas dan rentan disalahgunakan, terutama tanpa transparansi dan audit independen.
Teknologi dan Realitas: Kemampuan Itu Ada
Ahli keamanan siber dari ITB, Prof. Yudi Prayudi, membenarkan bahwa secara teknologi, penyadapan telepon—baik suara, pesan singkat, maupun aplikasi pesan instan—dapat dilakukan, terutama oleh institusi dengan akses pada sistem SS7 (Signaling System 7) yang digunakan oleh operator telekomunikasi global.
“Yang jadi masalah bukan soal bisa atau tidak bisa. Tapi apakah dilakukan secara legal, proporsional, dan dengan mekanisme akuntabel,” ujarnya.
Publik Reaktif, Swasta Perketat Sistem
Menanggapi meningkatnya kekhawatiran, beberapa perusahaan penyedia layanan komunikasi menyatakan komitmen mereka untuk menjaga kerahasiaan data pelanggan. Operator besar seperti Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata menyebutkan bahwa setiap permintaan data oleh aparat harus disertai dokumen resmi.
Namun begitu, masyarakat kini semakin cenderung menggunakan aplikasi pesan terenkripsi seperti Signal dan Telegram untuk menghindari potensi intersepsi
Munculnya kembali isu penyadapan nomor telepon menunjukkan bahwa privasi digital masih menjadi titik lemah dalam ekosistem teknologi Indonesia. Dalam negara demokrasi, penyadapan hanya boleh dilakukan dalam kondisi ekstrem, melalui jalur hukum, dan harus diawasi secara ketat oleh lembaga independen.
Tanpa transparansi dan kontrol, potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk pengawasan massal bukan mustahil terjadi. Maka, seruan untuk reformasi kebijakan privasi digital dan perlindungan data pribadi kembali menggema.