Jakarta, 30 Juni 2025

PUSATNEWS, Sebuah badai geomagnetik kuat kategori G4 melanda atmosfer Bumi sejak Minggu malam (29/6), setelah terdeteksi lontaran massa korona (CME) besar dari Matahari yang mengarah langsung ke planet ini. Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) dan NOAA Space Weather Prediction Center telah mengonfirmasi bahwa badai tersebut berpotensi menyebabkan gangguan serius terhadap sistem komunikasi global, navigasi satelit, dan infrastruktur kelistrikan di beberapa wilayah.
Menurut NOAA, badai geomagnetik kelas G4 tergolong level tinggi dalam skala 1–5, dan jarang terjadi lebih dari dua kali dalam satu siklus matahari. Lontaran CME yang memicu badai kali ini berasal dari sunspot aktif AR3894, yang juga telah menyebabkan serangkaian flare Matahari berjenis X sejak pertengahan pekan lalu.
Dampak Global: Satelit dan Jaringan Listrik Terpengaruh
Laporan sementara dari beberapa lembaga pengamatan cuaca antariksa menyebutkan bahwa sistem navigasi berbasis satelit (GPS) di sejumlah wilayah mengalami gangguan minor hingga sedang, khususnya di belahan utara dan selatan bumi. Maskapai penerbangan komersial di rute lintas kutub dilaporkan melakukan pengalihan jalur penerbangan sebagai langkah antisipatif terhadap potensi gangguan komunikasi radio frekuensi tinggi (HF).
Di Kanada, perusahaan energi Quebec Hydro mengonfirmasi bahwa salah satu jaringan transmisi utama sempat mengalami lonjakan arus geomagnetik, meski berhasil distabilkan dalam waktu kurang dari dua menit. Hingga saat ini, belum ada laporan gangguan kelistrikan skala besar, namun pemerintah beberapa negara seperti Norwegia, Swedia, dan Finlandia telah mengeluarkan peringatan kesiapsiagaan terhadap potensi blackout lokal.
Fenomena Aurora Terdeteksi di Wilayah Non-Kutub
Dampak visual dari badai geomagnetik ini juga memukau para pengamat langit. Aurora borealis dan australis dilaporkan tampak hingga ke lintang rendah, termasuk di negara-negara Eropa tengah seperti Jerman dan Polandia, serta sebagian kawasan Selandia Baru.
“Ini adalah badai terbesar dalam 18 bulan terakhir. Kami mengamati aurora hingga selatan Missouri dan Kansas di AS, yang sangat jarang terjadi,” ujar Dr. Lisa Morgan, ahli fisika Matahari di NASA Goddard Space Flight Center.
Indonesia Terpengaruh Minim, Tapi Tetap Waspada
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia menyatakan bahwa wilayah Indonesia berada di lintang geomagnetik rendah, sehingga tidak mengalami dampak langsung dalam bentuk gangguan kelistrikan atau aurora.
Meski demikian, operator satelit komunikasi dan penyedia jaringan internet nasional diminta meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi gangguan sinyal dan navigasi, khususnya untuk sektor penerbangan dan perkapalan.
“Kami terus memantau laporan dari NOAA dan ESA. Untuk saat ini, tidak ada gangguan signifikan di wilayah Indonesia,” kata Koordinator Cuaca Antariksa BMKG, Dwikorita Karnawati.
Peringatan dan Proyeksi
NOAA memperkirakan bahwa badai G4 akan berlangsung dalam dua fase utama, dengan puncak aktivitas pada malam 29–30 Juni dan penurunan intensitas dalam 48 jam ke depan. Potensi terjadinya flare susulan masih terbuka, mengingat sunspot aktif masih berada di sisi menghadap Bumi.
Masyarakat global, terutama yang bergantung pada sistem teknologi tinggi seperti komunikasi satelit, pemantauan cuaca, dan navigasi, diimbau untuk tetap mengikuti perkembangan dari lembaga resmi dan melakukan penyesuaian operasional bila diperlukan
Badai geomagnetik kelas G4 menjadi pengingat akan kerentanan teknologi modern terhadap dinamika luar angkasa. Di era digital saat ini, aktivitas Matahari bukan sekadar fenomena ilmiah, tetapi juga isu strategis yang berdampak langsung pada ekonomi, pertahanan, dan kehidupan sehari-hari.
Berita ini akan diperbarui sesuai pemantauan dari NOAA, NASA, dan BMKG.