Jakarta, 27 Juni 2025

PUSATNEWS, Sebuah frasa yang selama puluhan tahun identik dengan tradisi Ramadan di Indonesia kini memicu polemik luas di ruang publik. “Tung Tung Sahur!”, seruan yang biasa terdengar dari anak-anak kampung saat membangunkan warga untuk sahur, mendadak menjadi isu nasional setelah seorang individu mengajukan klaim hak cipta atas nama dan aransemen audio tersebut ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM.
Permohonan tersebut terdaftar dalam sistem DJKI sebagai hak cipta atas “karya musik dan suara digital berbasis budaya lokal”, dengan pelapor mencantumkan versi aransemen ulang sebagai bagian dari kepemilikan eksklusif.
Langkah ini sontak menuai reaksi keras dari masyarakat. Sejumlah tokoh budaya, musisi, akademisi, hingga pengguna media sosial menyuarakan keberatan terhadap upaya mengkomersialkan ekspresi budaya yang dianggap sebagai milik kolektif masyarakat Indonesia.
Tradisi Kolektif, Bukan Ciptaan Individu
Seruan “Tung Tung Sahur” selama ini dikenal luas sebagai bagian dari tradisi membangunkan sahur, khususnya di lingkungan perkampungan dan permukiman padat di Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga sebagian wilayah Indonesia Timur. Biasanya, anak-anak atau pemuda membawa kentongan, kaleng bekas, atau alat musik seadanya sambil meneriakkan frasa tersebut untuk membangunkan warga.
Menurut pengamat budaya dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Retno Widyaningsih, “Tung Tung Sahur” merupakan bentuk dari ekspresi budaya lisan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Ia menyebut bahwa budaya semacam ini semestinya didaftarkan sebagai ekspresi budaya tradisional, bukan diklaim sebagai karya personal.
“Frasa itu bukan hasil kreasi baru. Ia tumbuh dari ruang sosial kolektif. Mengklaimnya atas nama pribadi adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai warisan budaya,” ujar Retno dalam diskusi publik daring yang diselenggarakan Komite Kebudayaan Nasional.
Respon DJKI dan Pakar Hukum
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual belum memberikan pernyataan resmi terkait permohonan tersebut. Namun, sumber internal DJKI menyatakan bahwa permohonan masih dalam tahap evaluasi administratif dan substansi oleh tim penilai.
Pakar hukum kekayaan intelektual dari Universitas Indonesia, Prof. L. Hariyadi, menjelaskan bahwa hak cipta atas aransemen musik memang dapat didaftarkan jika ada unsur orisinalitas. Namun, frasa “Tung Tung Sahur” sebagai ekspresi budaya tidak dapat diklaim hak eksklusifnya, apalagi jika konteks penggunaannya bersifat sosial dan masif.
“Ada batasan yang harus dihormati. Ekspresi budaya tradisional masuk dalam kategori milik publik, dan tidak boleh dikomersialkan tanpa pengakuan atau pelibatan komunitas pemilik budaya,” tegasnya.
Kecaman dan Aspirasi Publik
Reaksi keras datang dari berbagai komunitas seni, termasuk Persatuan Seniman Musik Jalanan Indonesia (PSMJI), yang menyebut pengajuan hak cipta tersebut sebagai bentuk “privatisasi budaya”.
Di berbagai platform media sosial, kritik juga mengalir deras. Ribuan warganet membagikan ulang video-video lama tentang anak-anak membangunkan sahur, menyatakan bahwa tradisi seperti itu tidak boleh diubah menjadi kepemilikan eksklusif. Tagar #TungTungSahur menjadi trending topik nasional selama dua hari berturut-turut.
Lebih dari 20.000 tanda tangan terkumpul dalam petisi daring yang meminta pemerintah untuk mendaftarkan frasa tersebut sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional, sehingga tidak dapat diklaim oleh individu untuk kepentingan komersial.
Urgensi Perlindungan Budaya
Kasus ini kembali menegaskan pentingnya regulasi yang melindungi kekayaan budaya tradisional di era digital. Banyak warisan budaya lisan dan non-benda yang belum tercatat secara resmi, sehingga rentan diklaim atau dimodifikasi untuk tujuan industri tanpa memperhatikan hak komunitas asalnya.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyatakan tengah meninjau beberapa ekspresi budaya untuk dimasukkan ke dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda, termasuk tradisi membangunkan sahur dan seruan khasnya.
Kisruh klaim “Tung Tung Sahur” tidak hanya soal hak cipta, tetapi tentang siapa yang berhak atas kebudayaan bersama. Di tengah gempuran era digital dan maraknya komersialisasi konten, publik diingatkan kembali akan pentingnya melindungi budaya sebagai milik kolektif, bukan produk dagang.
Kini, masyarakat menanti langkah tegas dari negara: apakah akan berpihak pada pelestarian, atau membiarkan ruang budaya rakyat digeser oleh kepentingan individu.