

PUSATBERITA , Jakarta dan kemacetan adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Setiap harinya, jutaan kendaraan memenuhi jalanan ibu kota, menciptakan antrean panjang dan kepadatan luar biasa, terutama di jam-jam sibuk.
Dalam kondisi seperti ini, banyak pengemudi mengabaikan satu prinsip penting dalam berkendara, yakni menjaga jarak aman antarkendaraan. Padahal aturan menjaga jarak aman seharusnya tetap berlaku. Berikut alasannya.
1. Dasar hukum tetap mengikat
Aturan mengenai menjaga jarak sudah diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tepatnya pada Pasal 106 ayat 4. Di situ disebutkan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan wajib menjaga jarak aman dengan kendaraan di depannya. Meski tidak disebutkan secara spesifik angka dalam kondisi macet, prinsip ini tetap berlaku agar tidak terjadi tabrakan beruntun atau senggolan kecil.
Saat jalanan macet, pengemudi sering kali “merapat” ke kendaraan depan, bahkan kadang saling tempel. Meskipun logikanya adalah agar antrean tidak semakin panjang, kenyataannya justru membuat pergerakan makin lambat. Sedikit ruang di antara kendaraan bisa memberikan kesempatan untuk bermanuver, menghindari rem mendadak, atau memberi jalan pada kendaraan darurat.
2. Manfaat ruang jeda saat macet
Di tengah kemacetan, menjaga jarak tidak hanya tentang menghindari tabrakan. Memberi sedikit ruang antara mobil juga bisa mempercepat alur lalu lintas. Konsep ini dikenal sebagai buffer flow, di mana kendaraan bergerak sedikit demi sedikit tanpa perlu sering berhenti total. Ironisnya, justru ketika semua kendaraan terlalu rapat, potensi “stop and go” makin tinggi—dan ini memperparah kemacetan.
Selain itu, jarak yang cukup memberi ruang gerak bagi pengendara sepeda motor atau ambulans yang seringkali harus melintasi celah sempit. Dengan tidak memaksa rapat-rapat ke kendaraan depan, pengemudi juga bisa menghindari stres dan meningkatkan reaksi terhadap situasi darurat seperti pengendara yang tiba-tiba membuka pintu atau pejalan kaki yang melintas sembarangan.
3. Bijak mengemudi di tengah keterbatasan
Meskipun tidak realistis untuk menjaga jarak ideal 3 detik di tengah kemacetan Jakarta, bukan berarti aturan ini bisa diabaikan sepenuhnya. Pengemudi tetap perlu menjaga jarak minimal agar kendaraan tidak saling menyerempet. Selain itu, menjaga jarak juga mencerminkan sikap berkendara yang beradab dan saling menghormati di jalan raya.
Pada akhirnya, aturan menjaga jarak bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi membentuk budaya lalu lintas yang lebih tertib dan aman. Jika setiap pengemudi di Jakarta bisa sedikit lebih sabar dan bijak dalam menjaga jarak, mungkin kita tidak bisa menghapus kemacetan, tapi setidaknya bisa membuat perjalanan terasa lebih manusiawi.