
Jakarta – Bulan adalah satu-satunya satelit alami yang dimiliki oleh bumi. Meski telah menjadi objek penelitian antariksa selama berabad-abad, bulan tetap menjadi misteri yang memikat para ilmuwan hingga hari ini.
Salah satu teka-teki paling mencolok adalah perbedaan ekstrem antara dua sisinya. Bulan memiliki dua sisi, yakni sisi dekat (near side) yang selalu menghadap bumi dan sisi jauh (far side) yang tidak pernah terlihat langsung dari permukaan bumi karena penguncian gravitasi (tidal locking).
Sisi dekat bulan tampak relatif halus, didominasi oleh dataran luas dan gelap yang disebut mare atau sisa dari letusan vulkanik kuno. Sebaliknya, sisi jauh tampak penuh dengan kawah dan medan yang bergunung-gunung, seolah tak pernah tersentuh aktivitas vulkanik besar.
Apa yang menyebabkan dua sisi bulan ini begitu berbeda? Melansir laman Earth pada Rabu (21/05/2025), NASA melalukan trobosan baru melalui misi GRAIL (Gravity Recovery and Interior Laboratory) yang diluncurkan pada 2011.
Dua wahana kembar, Ebb dan Flow, mengorbit bulan dan mengukur fluktuasi kecil dalam medan gravitasinya secara presisi tinggi. Alih-alih mengandalkan sampel batuan atau pengamatan permukaan, misi ini menyelidiki bagian dalam bulan berdasarkan perubahan gaya gravitasi.
Sebuah pendekatan inovatif yang dikenal sebagai tomografi pasang surut (tidal tomography). Salah satu fokus utama dari penelitian ini adalah parameter bernama Love number tidal k3 yang mengukur sejauh mana mantel bulan berubah bentuk akibat tarikan gravitasi bumi.
Hasilnya mengejutkan, nilai k3 sekitar 72 persen lebih tinggi dari yang diperkirakan jika bulan memiliki struktur internal yang simetris. Hal ini menunjukkan bahwa mantel bulan tidak homogen.
Analisis lanjutan mengungkapkan bahwa sisi dekat bulan lebih hangat, lebih lunak, dan lebih lentur dibanding sisi jauh yang lebih dingin dan kaku. Perbedaan ini tidak hanya terlihat pada permukaan, tetapi mencerminkan struktur termal dan fisik di bagian dalamnya.
Radioaktif
Para ilmuwan menemukan bahwa sisi dekat bulan kaya akan unsur radioaktif seperti torium dan titanium yang terperangkap dalam lava purba. Miliaran tahun lalu, letusan besar menyelimuti sisi dekat, dan ketika lava tersebut mendingin, unsur-unsur pemanas tersebut ikut terjebak di dalamnya dan terus memancarkan panas hingga sekarang.
Akibatnya, suhu di mantel sisi dekat dapat mencapai hingga 170°C lebih panas dibandingkan sisi jauh. Panas ini membuat batuan lebih mudah berubah bentuk oleh tarikan pasang surut dari bumi.
Sebaliknya, sisi jauh yang tidak mengalami letusan besar seperti sisi dekat mendingin lebih cepat dan mempertahankan bentuk kasar serta kawah-kawahnya. Menariknya, gaya pasang surut tidak hanya memengaruhi lautan di Bumi, tetapi juga bulan.
Setiap hari, bulan mengalami regangan dan tekanan akibat gravitasi bumi. Namun, GRAIL mengungkapkan bahwa respons mantel bulan terhadap gaya ini berbeda-beda di tiap sisi.
Sisi dekat yang lebih panas cenderung membengkok dan melar, sementara sisi jauh tetap kaku dan tidak lentur. Perbedaan ini menciptakan ketidakseimbangan dalam medan gravitasi bulan, menghasilkan apa yang disebut anomali gravitasi.
Kantong Batuan
Selain itu, ketimpangan ini dapat menjelaskan pola sebaran gempa dalam bulan (moonquakes), yang cenderung terjadi pada lokasi-lokasi tertentu di kedalaman. Studi dari data GRAIL bahkan mengungkap keberadaan kantong-kantong batuan yang sebagian mencair di dalam mantel bulan, pada kedalaman antara 800 hingga 1.250 kilometer.
Kantong panas ini bisa menjadi titik lemah yang memicu gempa saat bulan mengalami tekanan akibat gaya pasang surut dari bumi. Kekuatan pendekatan ilmiah ini terletak pada efisiensinya.
Tanpa perlu mendaratkan alat berat atau melakukan penggalian di permukaan bulan, para ilmuwan berhasil ‘memindai’ struktur dalam bulan seperti menggunakan sinar-X dari kejauhan. Teknik tomografi pasang surut ini membuka kemungkinan baru dalam eksplorasi objek langit lainnya, seperti Mars, Enceladus (bulan Saturnus), dan Ganymede (bulan Jupiter), yang juga diyakini memiliki aktivitas internal.
Masa depan penelitian bulan pun semakin menjanjikan. NASA tengah mempersiapkan sejumlah misi lanjutan, seperti Farside Seismic Suite dan Lunar Geophysical Network, yang dirancang untuk memetakan interior bulan dengan resolusi lebih tinggi.
Misi ini bertujuan mendeteksi gempa bulan secara lebih detail, memantau kantong lelehan batuan, dan bahkan mengejar kemungkinan adanya aktivitas vulkanik yang masih berlangsung di bawah permukaan.