
Gaza – UN Food and Agriculture Organization (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangs (PBB) pada Senin (11/5) mengeluarkan peringatan keras tentang memburuknya bencana kemanusiaan di Gaza, mengingatkan ancaman kelaparan yang sudah di depan mata, keruntuhan sektor pertanian, serta potensi wabah epidemi mematikan kecuali akses bantuan kemanusiaan segera dipulihkan dan blokade dicabut.
Peringatan ini menyusul laporan terbaru Integrated Food Security Phase Classification (IPC) yang menyatakan seluruh populasi Gaza—sekitar 2,1 juta orang—berada dalam “risiko kritis kelaparan” setelah 19 bulan perang, pengungsian, dan pembatasan bantuan.
Pada periode 1 April hingga 10 Mei, 93% populasi (1,95 juta warga Gaza) diklasifikasikan dalam Fase 3 IPC atau lebih tinggi, yang berarti “krisis atau lebih buruk”. Ini mencakup 244.000 orang dalam Fase 5 (bencana) dan 925.000 dalam Fase 4 (darurat).
Untuk periode Mei-September, laporan memproyeksikan seluruh warga Gaza akan tetap berada dalam Fase 3 atau lebih tinggi.
“Komunitas internasional harus bertindak sekarang. Pemulihan segera akses bantuan pasokan kemanusiaan dan komersial secara besar-besaran sangat krusial,” tegas Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu dalam pernyataannya seperti dikutip dari Anadolu Agency, Selasa (13/5/2025).
“Setiap penundaan memperdalam kelaparan dan mempercepat kematian, mendorong kita lebih dekat ke jurang kelaparan,” imbuh Qu Dongyu.
FAO juga menyoroti keruntuhan sektor pertanian. Sebelum perang, 42% lahan Gaza digunakan untuk pertanian. Namun analisis gabungan FAO-UNOSAT (Pusat Satelit PBB) menunjukkan 75% ladang dan kebun buah telah rusak atau hancur, sementara lebih dari dua pertiga dari 1.531 sumur pertanian tidak berfungsi lagi.
Produksi peternakan hampir terhenti, dengan kerugian diprediksi meningkat seiring terputusnya pasokan pakan dan perawatan hewan. “Tanpa pakan dan perlengkapan veteriner, peternak tidak hanya kehilangan sumber pangan penting, tetapi hewan yang tidak diobati juga berisiko menularkan penyakit,” peringat FAO.
Sejak 2 Maret, Israel menutup penyeberangan ke Gaza untuk makanan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan—memperparah krisis yang sudah ada di wilayah kantong itu menurut laporan pemerintah, HAM, dan internasional.
Lebih dari 52.800 warga Palestina tewas dalam serangan brutal Israel sejak Oktober 2023, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Situasi Memburuk Jika Israel Tak Cabut Blokadi dan Stop Operasi Militer

Laporan Associated Press (AP) menyebut para ahli keamanan pangan mengeluarkan peringatan keras pada Senin (11/7) bahwa Jalur Gaza kemungkinan besar akan mengalami kelaparan (famine) jika Israel tidak mencabut blokade dan menghentikan operasi militernya.
Menurut temuan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) – otoritas internasional terkemuka dalam menilai tingkat keparahan krisis kelaparan “ada risiko tinggi” terjadinya kelaparan skala penuh jika situasi tidak berubah.
Selama 10 minggu terakhir, Israel melarang masuknya semua bahan makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan barang-barang lainnya ke wilayah Palestina, sambil terus melakukan serangan udara dan operasi darat. Sekitar 2,3 juta penduduk Gaza hampir sepenuhnya bergantung pada bantuan luar untuk bertahan hidup, karena kampanye militer Israel selama 19 bulan telah menghancurkan sebagian besar kapasitas produksi pangan di wilayah tersebut.
Kementerian Luar Negeri Israel menolak temuan IPC, menyatakan bahwa prediksi IPC sebelumnya tidak terbukti dan kelompok itu meremehkan jumlah bantuan yang masuk ke Gaza selama gencatan senjata awal tahun ini.
Persediaan Makanan di Gaza Menyusut Drastis

Persediaan makanan di Gaza menyusut secara dramatis. Saat ini, dapur umum yang membagikan makanan matang praktis menjadi satu-satunya sumber pangan bagi sebagian besar warga Gaza, namun mereka pun mulai tutup satu per satu akibat kehabisan stok.
Setiap hari, ribuan warga Palestina berdesak-desakan di depan dapur umum dengan membawa panci mereka, berjuang untuk mendapatkan seporsi lentil atau pasta.
“Kami harus antre selama empat sampai lima jam di bawah terik matahari. Sangat melelahkan,” kata Riham Sheikh el-Eid yang mengantri di sebuah dapur umum di Kota Khan Younis, Gaza selatan, pada Minggu (11/5). “Pada akhirnya, banyak yang pulang dengan tangan kosong. Makanan tidak cukup untuk semua orang.”
Chris Newton, analis International Crisis Group yang fokus mempelajari kelaparan sebagai senjata perang, menegaskan bahwa tidak adanya deklarasi resmi kelaparan (famine) tidak berarti warga Gaza belum menderita. “Pemerintah Israel sengaja membuat Gaza kelaparan sebagai bagian dari upaya mereka untuk menghancurkan Hamas dan mengubah wajah Jalur Gaza,” ujarnya.
Klaim Israel Soal Blokade Bantuan

Militer Israel menyatakan bahwa bantuan yang cukup telah masuk ke Gaza selama gencatan senjata dua bulan yang diakhiri Israel pertengahan Maret ketika mereka meluncurkan kembali operasi militernya.
Israel menyatakan blokade ini bertujuan untuk menekan Hamas agar membebaskan sandera yang masih mereka tahan. Mereka menegaskan tidak akan mengizinkan bantuan masuk sampai sistem baru yang memberi mereka kendali atas distribusi diterapkan, dengan tuduhan bahwa Hamas telah mengalihkan pasokan bantuan. Amerika Serikat menyatakan sedang menyusun mekanisme baru yang akan segera memulai pengiriman, tetapi belum memberikan kerangka waktu yang jelas.
PBB hingga kini menolak berpartisipasi dalam sistem baru ini. Mereka membantah adanya pengalihan bantuan dalam skala besar dan menyatakan sistem baru tersebut tidak diperlukan, tidak akan memenuhi kebutuhan besar warga Palestina, serta berpotensi menjadikan bantuan sebagai senjata untuk tujuan politik dan militer.