

PUSATBERITA , Dari 1–7 Agustus, dunia memperingati World Breastfeeding Week atau Pekan Menyusui Sedunia. Peringatan ini bukan sekadar simbolik, di baliknya ada pesan penting: makin banyak ibu yang bertekad menyusui, tetapi masih banyak juga yang belum punya cukup dukungan untuk bisa sukses memberi ASI eksklusif selama enam bulan penuh.
Tahun ini, tema Pekan Menyusui Sedunia mengingatkan semua orang: “Utamakan Menyusui: Ciptakan Sistem Dukungan Berkelanjutan” (Prioritize Breastfeeding: Create Sustainable Support Systems). Data terbaru menunjukkan tren yang patut diapresiasi. Angka ASI eksklusif untuk bayi di bawah 6 bulan naik cukup signifikan, dari 52 persen pada 2017 menjadi 66,4 persen pada 2024. Namun di balik angka itu, ada jutaan ibu yang masih berjuang sendirian menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari lama cuti melahirkan yang kurang memadai, tempat kerja yang belum ramah ibu menyusui, hingga akses ke konselor laktasi yang masih terbatas.
Dengan dukungan yang andal dan berkelanjutan, para ibu dapat mengakses bantuan dengan lebih baik saat mereka membutuhkannya, di mana pun mereka berada, baik di tempat kerja, di rumah, atau di komunitas mereka. Ini termasuk konseling terampil dari tenaga kesehatan terlatih, kebijakan tempat kerja dan pengaturan fisik yang memungkinkan pemberian ASI, serta dukungan berkelanjutan dari jaringan komunitas.
“Dengan berinvestasi dalam sistem pendukung bagi ibu menyusui, kita menciptakan jaring pengaman penting yang memastikan tidak ada ibu yang harus menghadapi tantangan menyusui sendirian,” kata Perwakilan UNICEF Indonesia, Maniza Zaman dalam sebuah pernyataan tertulis. “Ketika perempuan dan bayi mereka didukung untuk menyusui dengan sukses, hal itu memicu serangkaian hasil positif—tidak hanya untuk perkembangan anak, tetapi juga untuk keluarga yang lebih kuat, komunitas yang lebih sehat, dan pada akhirnya masa depan bangsa yang lebih baik.”
Padahal, ASI bukan cuma soal nutrisi. Menyusui dalam satu jam pertama setelah bayi lahir hingga enam bulan pertama tanpa tambahan makanan atau cairan lain terbukti mampu menurunkan risiko kematian bayi secara signifikan. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyebut, bayi yang tidak disusui punya kemungkinan 14 kali lebih besar meninggal sebelum usia 1 tahun dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Menyusui juga merupakan investasi kesehatan dan lingkungan
Banyak orang masih menganggap ASI hanya persoalan ikatan batin antara ibu dan bayi. Padahal, manfaatnya jauh lebih luas. Studi menunjukkan, anak yang disusui punya perkembangan kognitif lebih baik, rata-rata IQ mereka bisa lebih tinggi 3–4 poin. Risiko obesitas dan penyakit tidak menular juga lebih rendah.
Bukan hanya itu, menyusui juga jadi salah satu cara alami untuk mengurangi jejak karbon. Produksi susu formula memerlukan air, energi, transportasi, dan kemasan sekali pakai. Dengan menyusui, emisi gas rumah kaca berkurang, sampah plastik berkurang, dan dampaknya langsung ke keberlanjutan lingkungan.
Sayangnya, di lapangan, tidak semua ibu bisa menyusui dengan lancar. Itulah kenapa UNICEF dan WHO mendorong semua pihak, mulai dari pemerintah, penyedia layanan kesehatan, sektor swasta hingga komunitas, untuk benar-benar mempermudah ibu menyusui. Caranya? Mulai dari memastikan rumah sakit menerapkan Ten Steps to Successful Breastfeeding (inti dari Baby-friendly Hospital Initiative/BFHI, program global WHO dan UNICEF sejak 1991 untuk memastikan fasilitas kesehatan mendukung penuh praktik menyusui yang optimal), menyediakan ruang laktasi di tempat kerja, memperluas layanan konseling tatap muka maupun jarak jauh, hingga menegakkan aturan pemasaran pengganti ASI agar keluarga tidak tergoda iklan susu formula yang menyesatkan.
Perubahan kecil, jika dilakukan bersama, bisa menjadi jaring pengaman besar.
“Saat seorang ibu berhasil menyusui, bukan hanya anak yang mendapat awal hidup terbaik. Keluarga lebih kuat, masyarakat lebih sehat, dan masa depan bangsa pun ikut terjaga,” ujar Maniza.