Phnom Penh/Bangkok, 26 Juli 2025

PUSATNEWS, Ketegangan militer antara Thailand dan Kamboja memasuki fase paling kritis pada Sabtu pagi, setelah otoritas Kamboja mengonfirmasi bahwa lebih dari 100.000 warga sipil telah mengungsi dari wilayah perbatasan akibat serangan infanteri dan artileri berat dari pasukan Thailand yang diperkuat sejak malam sebelumnya.
Sementara itu, pemerintah Thailand melalui pernyataan resmi dari Dewan Keamanan Nasional (NSC) mengumumkan perpanjangan hukum militer di provinsi-provinsi perbatasan, termasuk Surin dan Sisaket, sebagai respons atas apa yang disebutnya sebagai “provokasi lanjutan dari pihak Kamboja.”
Evakuasi Massal di Kamboja
Kementerian Sosial dan Urusan Pengungsi Kamboja menyatakan bahwa pengungsian massal terjadi di lima provinsi terdekat dengan perbatasan, termasuk Oddar Meanchey, Preah Vihear, dan Banteay Meanchey. Sebagian besar warga mengungsi ke kamp-kamp darurat yang dibangun di sekitar Battambang dan Siem Reap.
“Ini adalah evakuasi terbesar sejak konflik perbatasan 2011. Saat ini kami mencatat lebih dari 100.000 warga sipil yang telah meninggalkan rumah mereka karena ketakutan akan penembakan artileri dan operasi militer Thailand,” ujar Dr. Chantha Sophea, Wakil Menteri Urusan Pengungsi Kamboja.
Badan kemanusiaan seperti Palang Merah Kamboja dan UNHCR telah mengaktifkan status darurat tingkat 2, sementara pengiriman logistik, tenda, dan obat-obatan masih tertahan di beberapa jalur karena akses darat yang tertutup akibat aktivitas militer.
Operasi Militer Thailand Diperluas
Di sisi lain, Thailand secara resmi memperpanjang status hukum militer di sepanjang perbatasan, memberlakukan larangan aktivitas publik pada malam hari (jam malam) dan memperluas cakupan operasi militer darat, termasuk pengerahan infanteri lapis baja dan unit artileri di sektor barat daya.
Panglima Angkatan Bersenjata Thailand, Jenderal Chalermchai Suwanratch, menyebut bahwa perpanjangan ini diperlukan untuk “mengamankan wilayah nasional dan menanggapi pelanggaran teritorial yang membahayakan integritas kedaulatan Thailand.”
“Kamboja telah menggunakan milisi bersenjata dan menyusup ke wilayah kami. Penempatan infanteri tambahan adalah tindakan defensif,” katanya dalam konferensi pers di Bangkok.
Tanggapan Dunia Internasional: Kecaman dan Kekhawatiran
PBB, melalui Komisaris Tinggi untuk Pengungsi (UNHCR), mengutuk tindakan yang memicu pengungsian massal dan menyerukan gencatan senjata segera. Amerika Serikat dan Uni Eropa masing-masing mengeluarkan pernyataan mendesak kedua negara untuk kembali ke meja perundingan.
“Kami sangat khawatir dengan situasi kemanusiaan yang berkembang. Penggunaan kekuatan berlebihan harus dihentikan dan akses kemanusiaan harus dijamin,” ujar juru bicara UNHCR di Jenewa.
Pemerintah Indonesia, yang saat ini memimpin ASEAN, menyatakan siap menginisiasi pertemuan darurat tingkat menteri luar negeri ASEAN untuk mencegah perang terbuka antarnegara anggota.
Kondisi di Lapangan: Ketegangan Masih Tinggi
Wartawan lokal di lapangan melaporkan bahwa tembakan artileri terdengar sepanjang malam dari sisi Thailand, sementara asap tebal terlihat di kawasan hutan perbatasan. Pos pengamatan PBB dan LSM internasional di wilayah netral terpaksa ditinggalkan karena alasan keamanan.
Beberapa video amatir yang beredar di media sosial menunjukkan warga desa membawa anak-anak kecil dan barang seadanya ke truk evakuasi. Banyak dari mereka belum mendapat bantuan makanan atau air bersih
Konflik ini berakar dari sengketa wilayah yang belum terselesaikan selama puluhan tahun, terutama di sekitar Candi Preah Vihear, situs bersejarah yang menjadi sumber klaim tumpang tindih. Meskipun Mahkamah Internasional menetapkan kepemilikan kepada Kamboja pada 1962, garis batas di sekitarnya tetap menjadi sumber ketegangan berulang.