New York – Jakarta – Tokyo | 27 Juni 2025

PUSATNEWS, Dalam dekade terakhir, kecerdasan buatan (AI) telah berkembang dari sekadar alat bantu menjadi katalis transformasi besar di berbagai bidang. Namun pada tahun 2025, perdebatan dan antusiasme terbesar mungkin justru hadir dari dua ranah yang selama ini dianggap paling “manusiawi”: seni dan jurnalisme.
🎭 SENI DIGITAL: ANTARA INSPIRASI DAN ALGORITMA
Seniman kontemporer di berbagai belahan dunia kini memanfaatkan AI bukan hanya sebagai alat visual, tetapi juga sebagai mitra kreatif. Platform seperti DALL·E, Midjourney, dan Runway ML telah memungkinkan penciptaan ilustrasi, lukisan, bahkan film pendek yang sebelumnya memerlukan waktu dan dana besar.
Di galeri digital “NeoForm” di Berlin, misalnya, sebuah pameran bertajuk “Machine Dreams, Human Souls” menampilkan karya-karya hasil kolaborasi antara pelukis dan algoritma generatif. Salah satu karya yang viral adalah lukisan potret bergaya Rembrandt, namun dihasilkan dalam waktu 12 detik oleh AI setelah menerima input emosi dari sang seniman.
🎙️ “Saya tidak melihat AI sebagai pesaing, tapi sebagai kuas yang baru. Kini saya bisa mengekspresikan ide yang rumit dalam hitungan menit, bukan minggu,” ujar Alexei Schmidt, seniman asal Jerman.
Namun, tidak semua pihak setuju. Serikat seniman di Prancis dan Korea Selatan mulai menggugat keabsahan karya AI dalam kompetisi seni rupa.
📰 JURNALISME & AI: MEMBENTUK NARASI DI ERA CEPAT SAJI
Di ruang redaksi, AI kini digunakan untuk mengolah data besar, menulis laporan awal, bahkan membuat visualisasi berita interaktif.
Reuters, The New York Times, hingga Kompas dan BBC mengakui telah menggunakan AI untuk:
- Mendeteksi tren berita secara real-time
- Menyusun draf laporan cuaca, ekonomi, atau hasil pertandingan olahraga
- Menerjemahkan dan menganalisis sumber dalam berbagai bahasa secara instan
Namun yang paling mengubah peta adalah kemampuan AI untuk menghasilkan teks naratif secara lengkap berdasarkan prompt atau data.
📢 “Kecepatan adalah segalanya di media saat ini. Dengan AI, kami bisa menyusun breaking news dalam hitungan detik, lalu diperiksa dan dikembangkan oleh editor manusia,” jelas Maria Thompson, editor teknologi di The Guardian.
⚖️ ETIKA, HAK CIPTA & ILUSI OBJEKTIVITAS
Meski efisien dan impresif, kehadiran AI juga menimbulkan banyak pertanyaan etis dan hukum, terutama:
- Siapa yang memiliki hak cipta karya AI?
- Apakah karya jurnalis yang dibantu AI masih bisa disebut “karya jurnalistik”?
- Siapa yang bertanggung jawab bila AI menyebarkan informasi salah?
Laporan UNESCO (Mei 2025) menyatakan bahwa lebih dari 60% jurnalis muda kini bergantung pada AI, namun hanya separuh dari mereka yang memahami cara kerja algoritmanya.
🛑 “Tanpa kontrol editorial manusia, AI bisa memperkuat bias, menyebarkan hoaks, atau membuat narasi yang tampak netral padahal berat sebelah,” ungkap Profesor Tanaka dari Tokyo University, pakar etika media.
🖼️ DI PERSIMPANGAN: KOLABORASI ATAU KONTROVERSI?
Meski masih penuh tantangan, tahun 2025 juga mencatat momen-momen gemilang dari kolaborasi AI dan manusia dalam seni-jurnalistik:
- 🎬 Film dokumenter pendek “Echoes of Gaza” tentang perang Timur Tengah dinominasikan di Cannes 2025—disunting sepenuhnya dengan AI generatif dari data lapangan.
- 📚 Novel interaktif “Written by No One” diterbitkan oleh HarperCollins—cerita ditulis oleh AI, tapi plot dan makna dikurasi oleh penulis.
- 🖥️ Museum Louvre mengumumkan eksperimen audio-guided tour dalam 36 bahasa yang sepenuhnya dijalankan AI berbasis NLP.
🌍 MASA DEPAN: MEMANUSIAKAN TEKNOLOGI, BUKAN MENGGANTIKAN MANUSIA
Para pemikir, seniman, dan jurnalis terkemuka dunia sepakat bahwa masa depan AI bukan tentang dominasi, tapi integrasi.
Alih-alih menggantikan manusia, AI diyakini bisa:
- Membuka akses ekspresi bagi yang tak bisa melukis
- Mempercepat analisis berita di wilayah konflik
- Menyuarakan komunitas minoritas lewat sistem naratif inklusif
Namun, untuk itu semua, dibutuhkan regulasi, transparansi, dan pendidikan publik agar teknologi tetap berpihak pada manusia, bukan sebaliknya.
📌 Kesimpulan
Di tengah dunia yang bergerak cepat, AI telah menjadi kanvas sekaligus pena di tangan generasi kreatif baru. Tapi pertanyaannya kini bukan lagi “bisakah AI berkarya?”
Melainkan: “Akankah kita tetap menjadi manusia dalam cara kita mencipta dan bercerita?”