Jakarta, 27 Juni 2025

PUSATNEWS, Maraknya penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) di berbagai platform digital kini mulai menimbulkan kekhawatiran serius, khususnya terhadap perkembangan anak-anak. Beberapa bulan terakhir, sejumlah anomali perilaku sistem AI dilaporkan berdampak langsung pada pengalaman digital anak, baik melalui aplikasi edukasi, hiburan, maupun layanan asisten virtual.
Anomali yang dimaksud merujuk pada respons atau output AI yang menyimpang dari konteks semestinya, misalnya memberikan jawaban yang tidak sesuai usia, merekomendasikan konten tidak layak, atau menampilkan interaksi yang mengganggu secara psikologis. Fenomena ini memicu peringatan dari para pakar pendidikan dan psikologi anak, serta menimbulkan desakan kepada pemerintah dan pengembang teknologi untuk meningkatkan sistem pengawasan.
Anak sebagai Pengguna Rentan
Anak-anak merupakan pengguna aktif platform digital berbasis AI, baik melalui perangkat orang tua maupun gawai pribadi. Aplikasi belajar interaktif, permainan edukatif, hingga konten hiburan kini banyak dibantu oleh sistem AI untuk menyesuaikan pengalaman pengguna. Namun, dalam praktiknya, tidak semua sistem tersebut dibangun dengan parameter keamanan dan sensitivitas usia yang memadai.
Menurut laporan Lembaga Perlindungan Anak Digital (LPAD) Indonesia, sebanyak 48% anak-anak usia 7–13 tahun menggunakan aplikasi dengan komponen AI tanpa pengawasan langsung dari orang tua. Dalam sebagian kasus, anak-anak mengakses chatbot, aplikasi menggambar otomatis, dan video edukatif AI, di mana beberapa respons AI menyimpang dari konteks pembelajaran yang aman.
Dampak Psikologis dan Perilaku
Psikolog perkembangan dari Universitas Indonesia, Dr. Ajeng Rahmalia, menilai bahwa anak-anak belum memiliki kapasitas untuk memilah informasi yang tepat dari interaksi berbasis mesin. Ketika sistem AI memberikan respons yang tidak sesuai atau bahkan mengandung konten sugestif, anak-anak bisa menganggap hal itu sebagai hal wajar.
“Beberapa anak yang kami tangani menunjukkan gejala kecemasan, mimpi buruk, hingga perilaku mengisolasi diri setelah mengakses konten berbasis AI yang mengandung unsur menakutkan, agresif, atau membingungkan,” kata Ajeng.
Sebagian kasus menunjukkan bahwa anak-anak yang mengandalkan chatbot untuk menjawab pertanyaan personal mendapatkan jawaban yang tidak empatik atau malah menyesatkan, misalnya ketika menanyakan tentang kematian, persahabatan, atau identitas diri
Minimnya Regulasi dan Filter Usia
Masalah ini diperparah oleh minimnya regulasi spesifik yang mengatur penggunaan AI pada kelompok usia anak-anak. Banyak pengembang teknologi hanya mencantumkan peringatan umum “tidak untuk anak di bawah usia tertentu”, tanpa adanya sistem kontrol usia yang benar-benar efektif.
Pakar etika digital, Dr. Fikri Habibi, menilai bahwa perlu ada klasifikasi risiko penggunaan AI yang melibatkan kelompok usia anak, dan menempatkan mereka sebagai pengguna prioritas yang perlu dilindungi.
“Kita tidak bisa menunggu sampai anak-anak menjadi korban baru bereaksi. Seperti halnya konten televisi dan buku anak, platform AI pun harus tunduk pada sistem sensor dan supervisi etis,” jelas Fikri.
Respons Pemerintah dan Internasional
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan tengah melakukan peninjauan terhadap aplikasi populer yang menggunakan teknologi AI, terutama yang memiliki pengguna anak-anak. Beberapa lembaga perlindungan anak juga telah mengajukan usulan pembentukan Pedoman Nasional Keamanan AI untuk Anak, termasuk:
- Verifikasi usia yang lebih ketat
- Audit rutin terhadap konten interaktif
- Kewajiban pelibatan psikolog anak dalam pengembangan sistem AI edukatif
Sementara itu, di tingkat internasional, Uni Eropa dan Australia telah menggolongkan penggunaan AI pada anak sebagai kategori teknologi berisiko tinggi yang harus melalui audit etik dan uji kelayakan sebelum diluncurkan
Perkembangan teknologi AI memang membuka banyak peluang bagi pendidikan dan hiburan anak. Namun, tanpa kontrol yang ketat dan desain sistem yang ramah anak, anomali AI dapat berubah menjadi sumber gangguan psikologis yang tak terdeteksi.
Penting bagi seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, pengembang, orang tua, dan institusi pendidikan—untuk menyadari bahwa anak-anak bukan hanya pengguna akhir, melainkan kelompok paling rentan yang perlu perlindungan khusus dalam ekosistem digital.