
Jakarta ‘Elu Jual, Gue Beli’. Mungkin istilah ini yang tepat untuk menggambarkan Iran yang tengah perang melawan Israel. Perang Iran Vs Israel ini sudah berlangsung lebih dari 10 hari sejak rudal pertama kali ditembakkan Israel ke kota Teheran pada 13 Juni 2025. Kondisi ini diperparah dengan terlibatnya Amerika Serikat (AS). Iran pun murka, mereka mengancam untuk menutup Selat Hormuz.
Anggota senior parlemen Iran Esmaeil Kowsari mengatakan pada Minggu (22/6/2025) bahwa parlemen Iran telah sepakat menutup Selat Hormuz, jalur utama perdagangan energi global, sebagai respons terhadap serangan Amerika Serikat (AS) dan sikap diam komunitas internasional.
Kowsari merupakan anggota komite parlemen urusan keamanan nasional dan kebijakan luar negeri. “Parlemen telah sampai pada kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup, namun keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi,” kata Kowsari seperti dikutip kantor berita Iran, Press TV.
Melansir CNN, Senin (23/6/2025) Selat Hormuz, yang terletak di antara Teluk Persia dan Teluk Oman hanya berjarak 21 mil pada titik tersempitnya.
Namun, wilayah tersebut menjadi satu-satunya jalur untuk mengirim minyak mentah dari Teluk Persia, dengan Iran mengendalikan sisi utaranya.
Sekitar 20 juta barel minyak, atau sekitar seperlima dari produksi global harian, mengalir melalui selat tersebut setiap hari, menurut Badan Informasi Energi AS (EIA).
EIA bahkan menyebut Selat Hormuz sebagai “titik kritis minyak.”
Manajer portofolio senior di perusahaan investasi energi Tortoise Capital, Rob Thummel mengatakan bahwa potensi gangguan pada rute laut di Selat Hormuz akan menyebabkan harga minyak melonjak hingga USD 100 per barel.
Seorang penasihat terkemuka pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, telah menyerukan penutupan Selat tersebut.
“Selat Hormuz sangat penting bagi kesehatan ekonomi global,” katanya.
Pasar Energi Dunia Ketar Ketir
Goldman Sachs menandai risiko terhadap pasokan energi global di tengah kekhawatiran atas potensi gangguan di Selat Hormuz yang akan menyebabkan lonjakan signifikan harga minyak dan gas alam.
Mengutip Yahoo Finance, Goldman Sachs memprediksi harga minyak Brent dapat mencapai puncaknya pada USD 110 per barel jika pasokan minyak melalui Selat Hormuz dikurangi setengahnya selama sebulan dan tetap turun sebesar 10% selama 11 bulan berikutnya.
Kemudian ada harga minyak akan turun. Rata-rata harga minyak Brent sekitar USD 95 per barel pada kuartal IV 2025. Sebelumnya, harga minyak melambung ke level tertinggi pada Senin, 23 Juni 2025 sejak Januari setelah Washington bergabung dengan Israel selama akhir pekan saat menyerang fasilitas nuklir Iran.
Goldman menyoroti prediksi pasar, meskipun likuiditas terbatas, kini mencerminkan probabilitas 52% Iran menutup Selat Hormuz pada 2025, mengutip data dari Polymarket.
Selain itu, disebutkan penurunan pasokan Iran sebesar 1,75 juta barel per hari dapat mendorong harga minyak mentah Brent ke puncak sekitar USD 90 per barel.
Dalam satu skenario, bank tersebut mengatakan penurunan pasokan minyak Iran sebesar 1,75 juta barel per hari (bpd) selama enam bulan, diikuti oleh pemulihan bertahap, dapat mendorong harga minyak mentah Brent ke puncaknya pada USD 90 per barel sebelum jatuh ke USSD 60-an pada 2026.
Ganggu Pasokan Minyak di Asia
Penutupan Selat diperkirakan berisiko bagi Tiongkok dan ekonomi Asia lainnya, yang bergantung pada minyak mentah dan gas alam yang dikirim melalui jalur air tersebut.
EIA memperkirakan bahwa 84% minyak mentah dan 83% gas alam cair yang melewati Selat Hormuz tahun lalu masuk ke pasar Asia.
Tiongkok, pembeli minyak terbesar dari Iran, mengimpor 5,4 juta barel per hari melalui Selat Hormuz pada kuartal pertama tahun ini. Sementara India dan Korea Selatan mengimpor masing-masing 2,1 juta dan 1,7 juta barel per hari, menurut perkiraan EIA.
Sebagai perbandingan, AS dan Eropa hanya mengimpor masing-masing 400.000 dan 500.000 barel per hari, dalam periode yang sama.
Pada konferensi pers hari Senin (23/6/2025), Kementerian Luar Negeri Tiongkok menekankan pentingnya Teluk Persia dan perairan di sekitarnya untuk perdagangan internasional, dengan mengatakan bahwa menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan tersebut melayani kepentingan bersama masyarakat internasional.
“Tiongkok menyerukan kepada masyarakat internasional untuk meningkatkan upaya untuk mendorong de-eskalasi konflik dan untuk mencegah kekacauan regional memberikan dampak yang lebih besar pada pembangunan ekonomi global,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Guo Jiakun.
Adapun Menteri Perminyakan dan Gas Alam India Hardeep Singh Puri berusaha meyakinkan investor bahwa negara tersebut telah mendiversifikasi pasokan minyak dalam beberapa tahun terakhir.
Risiko Bagi Indonesia

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners Association (DPP INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, konflik Iran vs Israel saat ini saja sudah berdampak pada operasional Selat Hormuz, sebagai satu-satunya jalur pelayaran internasional dari/ke Teluk Arab.
“Situasi ini menyebabkan lonjakan biaya asuransi kapal (war risk premium), pengetatan pengamanan, dan potensi keterlambatan pengiriman barang,” jelas Carmelita, Selasa (24/6/2025).
Carmelita menyatakan, Selat Hormuz merupakan jalur laut strategis yang dilalui sekitar 20 persen dari total pasokan minyak mentah dunia. Ia lantas memberikan gambaran dampaknya seperti apa, jika wilayah perairan itu benar-benar ditutup oleh Iran.
“Bisa dibayangkan bila selat Hormuz diblokade, maka akan juga berdampak terhadap harga minyak dunia. Yang mana kalau kita lihat dalam kurun waktu satu minggu setelah eskalasi konflik, harga minyak tercatat meningkat sebesar USD 10-15 per barel,” urainya.
“Sehingga ini akan berdampak pada terhadap logistik nasional, mengingat biaya operasional kapal lebih dari dari setengahnya adalah biaya bahan bakar. Sehingga dampaknya mungkin terbatas, tapi signifikan bagi logistik nasional terutama dari biaya bahan bakar tadi,” tegasnya.
Ekonom, sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira memperkirakan bahwa ada kemungkinan Indonesia terkena dampak sampingan dari konflik Iran-Israel.
“Karena harga minyak dunia naik akibat suplai terganggu imbasnya ke biaya impor BBM jadi lebih mahal,” ungkap Bhima di Jakarta, Selasa (24/6/2025).
Bhima juga memperkirakan bahwa sejumlah negara akan menggeser pasokan minyaknya yang sebelumnya mereka impor dari Iran.
“(Ada risiko) terjadi rebutan minyak mengarah ke krisis energi,” sebutnya.
Bhima memproyeksi harga minyak dunia diperkirakan akan menyentuh kisaran USD 80-83 jika penutupan Selat Hormuz terjadi.
“Lonjakan harga energi tinggal tunggu waktu disesuaikan ke BBM non subsidi kemudian ke harga BBM subsidi. Ujungnya masyarakat akan dibebankan,” imbuhnya.
Maka dari itu, Bhima menyarankan agar Pemerintah dapat melakukan antisipasi terhadap risiko kenaikan biaya impor BBM untuk menghindari lonjakan inflasi.
Ekonomi RI Sulit Tumbuh 5%
Jika konflik Iran-Israel berlangsung lebih lama, Bhima mengingatkan, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,5% year on year tahun ini.
“Makin berat mencapai target 8% pertumbuhan ekonomi karena situasi eksternal nya terlalu berat, ditambah adanya efisiensi anggaran pemerintah,” ungkap Bhima.
Sementara itu, Pengamat Energi dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, menilai Indonesia akan terkena imbas serius jika penutupan Selat Hormuz yang dilakukan Iran berlangsung lama.
Sebab, hampir seluruh pasokan minyak Indonesia berasal dari impor, dan harga di pasar global akan sangat menentukan biaya energi dalam negeri.
“Jika harga minyak dunia melonjak tajam akibat krisis di Selat Hormuz, Indonesia sebagai negara importir bersih akan menghadapi beberapa dampak, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak di dalam negeri,” kata Iwa.
Menghadapi kondisi ini, Iwa mendorong pemerintah agar tidak hanya bersikap reaktif, tetapi segera menyiapkan strategi energi jangka panjang.
Ia menyarankan beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan, seperti diversifikasi sumber energi, termasuk mengembangkan energi baru dan terbarukan, peningkatan efisiensi energi di sektor industri dan transportasi, optimalisasi sumber daya alam dalam negeri, serta percepatan eksplorasi dan produksi migas nasional.
Iwa juga menekankan pentingnya investasi di sektor energi domestik dan insentif bagi inovasi teknologi energi terbarukan sebagai upaya jangka menengah dan panjang.