
Israel menyetujui rencana memperluas serangan militernya di Jalur Gaza; menetap di wilayah Palestina itu untuk waktu yang tidak ditentukan; dan memindahkan secara paksa warga Palestina di sana. Hal ini diungkapkan dua pejabat Israel pada Senin (5/5/2025).
Dalam rencana baru, yang disetujui melalui pemungutan suara oleh Kabinet Keamanan Israel, ratusan ribu warga Palestina akan dipindahkan ke bagian selatan Jalur Gaza.
Rincian rencana ini belum diumumkan secara resmi. Waktu dan cara pelaksanaannya belum jelas. Namun, yang pasti, persetujuan ini datang beberapa jam setelah Israel menyatakan pihaknya memanggil puluhan ribu pasukan cadangan guna memperkuat kapasitasnya untuk beroperasi di Jalur Gaza.
“Satu hal yang akan jelas: tidak akan ada yang namanya masuk lalu keluar,” kata Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dalam sebuah pesan video yang diunggah di platform media sosial X pada Senin. “Kami akan memanggil pasukan cadangan, menguasai wilayah — kami tidak akan masuk lalu keluar dari area itu hanya untuk melakukan serangan sesekali setelahnya. Itu bukan rencananya. Justru sebaliknya yang dimaksud.”
“Penduduk akan dipindahkan demi keselamatan mereka,” ujar Netanyahu.
Seorang pejabat pertahanan Israel menyebutkan bahwa rencana baru ini tidak akan dimulai sebelum Presiden Donald Trump menyelesaikan kunjungan yang dijadwalkan ke Timur Tengah (TimTeng) bulan ini, membuka kemungkinan bahwa Israel mungkin bersedia menyetujui gencatan senjata sementara. Ketiga pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim karena mereka membahas rencana militer. Demikian seperti dilansir AP.
Israel menarik diri dari Jalur Gaza pada 2005 setelah pendudukan sejak Juni 1967 dan kemudian memberlakukan blokade bersama Mesir. Merebut dan kemungkinan menduduki wilayah itu kembali untuk jangka waktu yang tidak ditentukan akan semakin menghancurkan harapan atas pembentukan Negara Palestina.
Sejak Israel mengakhiri gencatan senjata dengan kelompok Hamas pada pertengahan Maret, Israel telah kembali melancarkan serangan hebat ke Jalur Gaza, merebut sebagian besar wilayahnya hingga kini menguasai sekitar 50 persen Jalur Gaza. Sebelum gencatan senjata berakhir, Israel menghentikan semua bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, termasuk makanan, bahan bakar, dan air, yang memicu apa yang diyakini sebagai krisis kemanusiaan terburuk dalam perang yang dimulai sejak 7 Oktober 2023 ketika militan yang dipimpin Hamas menyerang Israel selatan.
Israel mengklaim serangan tersebut menewaskan 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 orang. Sebanyak 59 sandera disebut masih berada di Jalur Gaza, dengan sekitar 35 di antaranya diyakini telah meninggal.
Mengutip otoritas Jalur Gaza, serangan Israel telah membuat lebih dari 90 persen populasi di wilayah kantong itu mengungsi dan menewaskan lebih dari 52.000 orang, di mana banyak di antaranya perempuan dan anak-anak.
Meraba Makna di Balik “Kereta Perang Gideon”

Nama operasi militer terbaru Israel di Jalur Gaza, Gideon’s Chariots atau Merkavot Gideon atau Kereta Perang Giden, sarat dengan makna simbolis dan propaganda.
Mengutip The New Arab, dengan memilih nama ini, Israel diyakini sengaja membingkai operasi militernya bukan sekadar sebagai tindakan pertahanan, melainkan sebagai misi suci yang didukung oleh narasi agama.
Nama “Gideon” — tokoh yang dalam kitab suci menghancurkan musuh-musuhnya atas perintah Tuhan — memberi kesan bahwa serangan ini adalah bentuk pembalasan ilahi yang benar secara moral. Lebih dari itu, penggunaan simbol-simbol semacam ini juga mengisyaratkan unsur penaklukan etnis, seolah-olah operasi ini adalah bagian dari perang sejarah yang ditujukan untuk menyingkirkan suatu kelompok secara menyeluruh.
Kata Merkavot, yang berarti “kereta perang”, menambah unsur ancaman. Di satu sisi, membangkitkan gambaran kendaraan perang mitologis. Di sisi lain, langsung mengingatkan pada tank Merkava — simbol kekuatan militer Israel — yang selama bertahun-tahun digunakan dalam serangan di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Kombinasi antara simbol agama dan alat perang modern ini disebut menciptakan citra sebuah perang suci yang dijalankan dengan teknologi penghancur.
Namun, tidak semua pihak di Israel menerima nama itu begitu saja. Sebagian warga menganggapnya sebagai sindiran politik karena terkesan mengangkat nama Menteri Luar Negeri Gideon Saar — yang dijuluki secara sarkastis sebagai “pahlawan penyelamat pemerintahan Netanyahu”.
Saar dianggap “menyelamatkan” Netanyahu karena pada 2023 dia memilih untuk bergabung ke dalam pemerintahan koalisi Netanyahu — langkah yang sangat menentukan bagi kelangsungan pemerintahan tersebut, terutama karena Netanyahu saat itu menghadapi tekanan besar dari krisis politik internal.
Suara Keluarga Sandera

PM Netanyahu mengakui pada Senin bahwa para menteri kabinet telah memutuskan untuk melancarkan operasi militer besar-besaran di Jalur Gaza, termasuk pemindahan penduduk dengan klaim demi melindungi mereka.
Rencana itu juga menetapkan kendali Israel atas distribusi bantuan kemanusiaan. Israel menuduh Hamas menyalahgunakan bantuan untuk kepentingan mereka sendiri atau untuk memperkuat kekuasaan mereka di Jalur Gaza, meskipun Israel belum memberikan bukti atas tuduhan itu.
Juru bicara Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) Jens Laerke membantah adanya penyimpangan bantuan. Dia menyatakan PBB menerapkan sistem yang kuat untuk memantau dan mencegah pencurian bantuan semacam itu.
Para pejabat mengatakan Israel tengah menjalin komunikasi dengan beberapa negara terkait rencana Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza dan merelokasi penduduknya, dalam skema yang oleh Israel disebut sebagai “emigrasi sukarela”. Usulan ini telah menuai kecaman luas, termasuk dari negara-negara sekutu Israel di Eropa.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia memperingatkan bahwa tindakan Israel bisa dianggap sebagai kejahatan perang menurut hukum internasional.
Selama berminggu-minggu, Israel telah berupaya meningkatkan tekanan terhadap Hamas agar kelompok itu menyetujui syarat-syarat Israel dalam negosiasi gencatan senjata. Namun, Hamas belum bergeser dari posisi negosiasinya.
Gencatan senjata sebelumnya dimaksudkan untuk membuka jalan menuju negosiasi penghentian perang secara permanen, namun hal itu masih belum tercapai. Israel menyatakan tidak akan setuju mengakhiri perang sampai kemampuan pemerintahan dan militer Hamas dihancurkan. Sementara itu, Hamas menginginkan kesepakatan yang mengarah pada pengakhiran perang tanpa harus melucuti senjata.
Pengumuman perluasan operasi oleh Israel memicu kemarahan keluarga para sandera, yang khawatir perpanjangan konflik justru membahayakan orang-orang yang mereka cintai. Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang, yang mendukung para keluarga tersebut, mendesak para pengambil keputusan di Israel untuk memprioritaskan keselamatan para sandera dan segera menyepakati kesepakatan damai.
Dalam rapat komite Knesset pada Senin, Einav Zangauker — ibu dari Matan yang saat ini masih disandera — menyerukan agar para tentara menolak menjalankan tugas cadangan, dengan alasan moral dan etika.
Beberapa tentara cadangan telah mengindikasikan bahwa mereka akan menolak bertugas dalam perang yang semakin mereka anggap bermotif politik.
Taktik Tekanan Israel

Israel berencana mencegah Hamas mengakses bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza dengan melibatkan perusahaan-perusahaan swasta dan mendirikan area distribusi khusus yang diamankan oleh militer Israel. Seorang pejabat pertahanan Israel menyatakan rencana ini bertujuan untuk “memisahkan” Hamas dari bantuan tersebut. Dia menambahkan bahwa warga Palestina akan disaring agar Hamas tidak bisa mendapatkan akses terhadap bantuan.
Dalam memo yang beredar di kalangan kelompok bantuan dan dilihat oleh AP, Israel memberitahu PBB bahwa mereka akan menggunakan perusahaan keamanan swasta untuk mengendalikan distribusi bantuan di Jalur Gaza. Namun, dalam pernyataannya pada Minggu (4/5), PBB menolak berpartisipasi dalam rencana itu karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar mereka.
Memo itu merupakan ringkasan dari pertemuan antara PBB dan badan pertahanan Israel yang bertanggung jawab mengoordinasikan bantuan ke Jalur Gaza, yaitu COGAT. Memo ditulis oleh sebuah kelompok yang mendapat penjelasan tentang isi pertemuan dan dikirimkan kepada organisasi-organisasi bantuan pada Minggu.
Menurut isi memo, seluruh bantuan akan masuk ke Jalur Gaza melalui perlintasan Kerem Shalom dengan jumlah sekitar 60 truk setiap harinya. Bantuan itu akan langsung dibagikan kepada masyarakat. Sebagai perbandingan, sebelum perang berlangsung, sekitar 500 truk bantuan masuk ke Jalur Gaza setiap harinya.
Memo menyebutkan pula bahwa teknologi pengenalan wajah akan digunakan untuk mengidentifikasi warga Palestina di pusat-pusat logistik. Selain itu, pesan teks akan dikirimkan kepada warga di sekitar lokasi untuk memberi tahu mereka bahwa mereka dapat datang mengambil bantuan.
Setelah Israel menyatakan akan memperketat pengawasan atas distribusi bantuan di Jalur Gaza, OCHA mengirimkan email kepada kelompok-kelompok bantuan yang isinya mendesak mereka untuk menolak segala pembatasan drastis terhadap pekerjaan kemanusiaan.
Email, yang dikirim OCHA pada Senin kepada organisasi-organisasi bantuan dan dibagikan kepada AP, turut menyatakan bahwa sudah ada mekanisme yang diberlakukan untuk memastikan bantuan tidak disalahgunakan.
Sebelumnya, OCHA menyebut bahwa rencana Israel akan membuat sebagian besar populasi, termasuk kelompok paling rentan, tidak mendapat pasokan bantuan. Pernyataan OCHA mengungkap, “Rencana Israel tampaknya dirancang untuk memperkuat kendali atas barang-barang yang menopang kehidupan sebagai taktik tekanan — sebagai bagian dari strategi militer.”
Kelompok-kelompok bantuan telah menegaskan bahwa mereka menolak penggunaan personel bersenjata atau berseragam dalam pendistribusian bantuan karena hal itu berpotensi mengintimidasi warga Palestina atau membahayakan mereka.
Respons Hamas atas Rencana Israel

Setelah terkuak bahwa Israel menyetujui perluasan serangan militer yang mencakup pendudukan seluruh wilayah Jalur Gaza untuk waktu yang tidak ditentukan, seorang pejabat senior Hamas mengatakan bahwa tidak ada lagi gunanya melanjutkan pembicaraan mengenai gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera.
Bassem Naim mengatakan kepada BBC bahwa kelompoknya tidak akan menanggapi proposal baru selama Israel terus melakukan apa yang dia sebut sebagai “perang kelaparan” – merujuk pada tuduhan bahwa Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata dalam konflik.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa perluasan operasi darat Israel dan kehadiran militer yang berkepanjangan akan menyebabkan lebih banyak korban sipil dan kehancuran yang semakin parah di Jalur Gaza.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dan Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan keprihatinan mendalam terhadap perkembangan terbaru dan sepakat bahwa proses perdamaian yang baru sangat diperlukan
Di Washington, Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat akan membantu menyalurkan makanan bagi warga Jalur Gaza, meskipun dia tidak menjelaskan rinciannya.
“Orang-orang sedang kelaparan dan kami akan membantu mereka mendapatkan makanan. Banyak pihak membuat situasinya menjadi sangat, sangat buruk,” tutur Trump. “Hamas membuat segalanya mustahil karena mereka mengambil semua yang masuk.”
Kata Pengamat soal Rencana Israel atas Gaza

Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Irfan Ardhani menilai bahwa rencana pengambilalihan Jalur Gaza perlu dibaca sebagai upaya Israel untuk menyelaraskan tindakan dengan visi Trump mengenai masa depan wilayah kantong Palestina itu.
“Visi yang dinamai ‘Rencana Riviera’ ini telah disampaikan Trump saat Netanyahu berkunjung ke Gedung Putih baru-baru ini,” tutur pria yang akrab disapa Irfan.
Sementara itu, penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar menekankan bahwa Israel tidak lagi memiliki tujuan strategis di Jalur Gaza.
“PM Netanyahu menyatakan Israel harus terus berperang sampai Hamas dilumatkan. Padahal, mustahil Hamas bisa dikalahkan karena Hamas bukan hanya milisi bersenjata, melainkan juga ideologi yang dianut mayoritas rakyat Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat. Satu-satunya alasan yang masuk akal untuk menjelaskan mengapa Netanyahu terus mengobarkan perang adalah menjaga kelangsungan pemerintahan koalisi di mana partai politik ultra kanan mengancam akan mundur dari koalisi jika perang dihentikan tanpa Hamas dilumatkan. Kalau pemerintahan Netanyahu kolaps, karier politik Netanyahu akan berakhir di penjara terkait kasus korupsi,” jelas Smith.
Terkait kebijakan AS atas Jalur Gaza, Smith menyatakan, “Harus diingat bahwa kemenangan Trump dalam pilpres lalu berkat dukungan lobi Yahudi yang sangat kuat dan kaum Evangelis yang merupakan basis konstituen Trump. Berdasarkan dua alasan inilah membuat Trump tak cukup leluasa dalam menjalankan politik luar AS terkait Israel. Di luar itu, Israel adalah proksi AS yang berperan strategis untuk menjaga hegemoni AS di TimTeng. Untuk itu, AS mengidentikkan kepentingannya dengan kepentingan Israel. Tak heran, presiden AS selalu mendukung apapun yang dilakukan Israel.”
Di tengah eskalasi, suara dunia Arab tidak terdengar nyaring.
Irfan berpendapat bahwa sedari awal negara-negara Arab berhati-hati dalam menyikapi perkembangan perang di Jalur Gaza.
“Hal ini bisa jadi merupakan efek traumatik dari kekalahan yang mereka derita dalam perang melawan Israel puluhan tahun silam. Dengan perkembangan kekuatan militer Israel serta kepentingan geopolitik dan ekonominya, negara-negara Arab cenderung menghindari opsi intervensi militer dan memilih jalan diplomasi yang sampai hari ini tidak berhasil membawa perdamaian di Gaza. Kekuatan axis of resistance yang selama ini menjadi aliansi Hamas di kawasan Timur Tengah juga jauh berkurang setelah diserang secara bertubi-tubi oleh Israel,” beber Irfan.
Smith menggarisbawahi bahwa dunia Arab tidak memiliki pemimpin yang bisa menyatukan mereka.
“Masing-masing negara Arab punya agenda sendiri dalam melindungi kepentingan nasionalnya. Terlebih, kelangsungan hidup negara-negara Arab kaya dan berpengaruh masih sangat bergantung pada dukungan AS,” ujarnya.
Lantas, adakah yang bisa dilakukan Indonesia?
“Yang bisa dilakukan Indonesia adalah melobi dan memobilisasi dukungan global, khususnya 57 negara OKI dan dunia selatan (global south), untuk bersatu menekan Trump menghentikan genosida di Gaza secepatnya. Mestinya ini bisa dilakukan. Dalam perang Arab-Israel 1973, negara-negara Arab mampu melakukan embargo minyak, sehingga AS terpaksa menekan Israel untuk segera mengakhiri perang,” ungkap Smith.
Smith menambahkan, “Aneksasi Gaza dan pengusiran warganya tidak dapat dilakukan karena akan berdampak pada stabilitas kawasan untuk waktu yang cukup lama dan keinginan Israel berdamai dengan seluruh negara Arab tidak dapat diwujudkan. Satu-satunya jalan yang masuk akal dan bermoral adalah diwujudkannya two-state solution, sehingga Israel dapat terintegrasi ke dalam TimTeng sesuatu yang sudah lama diimpikan dan Palestina mendapat keadilan berupa berdirinya negara Palestina di tanah mereka sendiri.”
Adapun menurut Irfan, “Indonesia harus terus menyuarakan penolakan bersama negara-negara lain terhadap invasi Israel ke Gaza di berbagai forum internasional baik itu di PBB, OKI, maupun forum-forum yang lain. Suara yang lantang dari Indonesia sangat diperlukan agar masyarakat internasional tidak menyikapi ketidakadilan itu secara banal.”