
PUSATNEWS Palembang, 1 Mei 2025 — Dua prajurit TNI, Kopral Dua (Kopda) Basarsyah dan Pembantu Letnan Satu (Peltu) Yohanes Lubis, akan segera menjalani proses persidangan di Pengadilan Militer I-04 Palembang. Keduanya merupakan tersangka dalam kasus penembakan yang menewaskan tiga anggota polisi saat penggerebekan arena judi sabung ayam di Way Kanan, Lampung, pada 17 Maret 2025.
Kronologi Kejadian
Pada 17 Maret 2025, tiga anggota Polri dari Polsek Negara Batin, yaitu Kapolsek AKP (Anumerta) Lusiyanto, Aipda (Anumerta) Petrus Apriyanto, dan Briptu (Anumerta) M Ghalib Surya Ganta, melakukan penggerebekan terhadap aktivitas judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Lampung. Dalam operasi tersebut, ketiganya tewas ditembak oleh Kopda Basarsyah menggunakan senjata api laras panjang jenis SS1 V2.
Proses Hukum
Setelah kejadian, Kopda Basarsyah dan Peltu Yohanes Lubis menyerahkan diri dan ditetapkan sebagai tersangka. Penyidikan dilakukan oleh Detasemen Polisi Militer (Denpom) II/3 Lampung, yang kemudian menyerahkan berkas perkara dan barang bukti, termasuk senjata api yang digunakan, ke Oditurat Militer (Otmil) I-05 Palembang pada 30 April 2025.
Kepala Otmil I-05 Palembang, Kolonel Laut (H) Mochamad Muchlis, menyatakan bahwa pihaknya akan segera meneliti dan mengolah berkas perkara kedua tersangka sebelum melimpahkannya ke Pengadilan Militer I-04 Palembang. Sidang dijadwalkan terbuka untuk umum, namun tanggal pastinya masih menunggu penetapan dari pengadilan.
Tanggapan dan Sanksi
Mayjen TNI Eka Wijaya Permana, Wakil Kepala Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Danpuspomad), menegaskan bahwa kedua tersangka dijerat dengan Pasal 340 jo 338 KUHP tentang pembunuhan berencana dan Undang-Undang Darurat RI terkait kepemilikan senjata api ilegal.
Mabes TNI AD menyatakan tidak akan melindungi anggota yang terlibat dalam tindakan kriminal dan akan menunggu hasil persidangan sebelum mengambil tindakan administratif lebih lanjut, termasuk pemecatan.
Desakan Proses di Peradilan Umum
Beberapa pihak, termasuk Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, mendorong agar kasus ini diproses di peradilan umum karena dianggap sebagai tindak pidana umum yang tidak terkait dengan tugas kemiliteran. Namun, hingga saat ini, proses hukum tetap berjalan di ranah peradilan militer.