
JAKARTA – Pemerintah Indonesia tengah menghadapi ancaman tarif impor sebesar 32% dari Amerika Serikat terhadap produk ekspor utama seperti elektronik, tekstil, dan alas kaki. Tarif ini merupakan bagian dari kebijakan “Liberation Day” yang diumumkan oleh Presiden AS, Donald Trump, pada awal April 2025. Sebagai respons, Indonesia telah mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington, D.C., untuk melakukan negosiasi dan mencari solusi guna menghindari dampak negatif terhadap perekonomian nasional.
📉 Dampak Potensial terhadap Ekonomi Indonesia
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan bahwa penerapan tarif 32% dapat mengurangi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 0,3 hingga 0,5 poin persentase. Meskipun ekspor ke AS hanya menyumbang sekitar 2% dari PDB, dampak terhadap sektor manufaktur dan investasi dapat signifikan. Pemerintah tetap optimis dengan target pertumbuhan ekonomi 5,2% untuk tahun 2025, meskipun Dana Moneter Internasional (IMF) telah menurunkan proyeksi menjadi 4,7%
🤝 Strategi Negosiasi Indonesia
Dalam upaya meredakan ketegangan dagang, Indonesia menawarkan beberapa langkah konkrit kepada AS:
- Meningkatkan Impor dari AS: Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan impor dari AS hingga sebesar $19 miliar, termasuk produk energi seperti LNG dan LPG, serta produk pertanian seperti gandum dan kedelai
- Reformasi Regulasi: Pemerintah berencana untuk menyederhanakan prosedur bea cukai dan perizinan, serta mengurangi hambatan non-tarif yang selama ini menjadi keluhan pelaku usaha AS .
- Relaksasi Aturan Konten Lokal: Indonesia akan melonggarkan persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk produk-produk teknologi informasi dan komunikasi dari AS.
⏳ Tenggat Waktu dan Prospek Ke Depan
AS telah memberikan penundaan penerapan tarif selama 90 hari, memberikan waktu bagi kedua negara untuk mencapai kesepakatan sebelum awal Juli 2025 . Indonesia berharap bahwa langkah-langkah yang diambil dapat mencegah eskalasi perang dagang dan menjaga stabilitas ekonomi domestik.