
Semikonduktor, komponen kecil yang menjadi “otak” di balik segala teknologi modern, kini berada di pusat perang geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan China. Persaingan ini bukan hanya tentang keunggulan teknologi, tetapi juga kedaulatan nasional, keamanan ekonomi, dan dominasi di era digital. Berikut adalah analisis mendalam tentang dinamika konflik ini hingga tahun 2025.
Akar Konflik: Mengapa Semikonduktor Begitu Strategis?
- Kebutuhan Global: Industri semikonduktor senilai $600 miliar (2023) adalah fondasi untuk semua teknologi kritis—mulai dari AI, 5G, hingga senjata canggih.
- Konsentrasi Produksi: Lebih dari 90% chip canggih (di bawah 7nm) diproduksi di Taiwan (TSMC) dan Korea Selatan (Samsung). Ketergantungan ini menciptakan kerentanan bagi AS dan China.
- Keamanan Nasional: Chip digunakan dalam sistem militer, satelit, dan infrastruktur kritis. Siapa yang mengontrol produksinya, mengontrol keamanan global.
Strategi AS: Membendung Kemajuan China
- Pembatasan Ekspor:
- AS melarang penjualan mesin lithografi EUV (ASML) ke China sejak 2023, memotong akses China ke teknologi produksi chip di bawah 7nm.
- Larangan ekspor chip AI high-end (seperti NVIDIA A100/H100) ke perusahaan China seperti Huawei atau SMIC.
- CHIPS Act:
- Subsidi $52 miliar untuk membangun pabrik chip di AS (Intel di Arizona, TSMC di Arizona).
- Aturan “guardrails” yang melarang penerima subsidi berinvestasi di China selama 10 tahun.
- Aliansi Chip 4:
- AS menggalang koalisi dengan Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang untuk mengisolasi China dari rantai pasok global.
Respons China: Berjuang untuk Swasembada
- Investasi Besar-besaran:
- China menggelontorkan $150 miliar (2021-2025) untuk riset dan produksi chip domestik melalui “Big Fund II”.
- Perusahaan seperti SMIC dan Huawei mengakuisisi startup chip lokal untuk mempercepat inovasi.
- Teknologi “Bypass”:
- SMIC dikabarkan berhasil memproduksi chip 5nm dengan mesin DUV yang dimodifikasi (2024), meski dengan yield hanya 30%.
- Huawei mengembangkan arsitektur chip alternatif (RISC-V) untuk menghindari ketergantungan pada ARM (yang dikuasai AS).
- Diplomasi Teknologi:
- China memperkuat kerja sama dengan Rusia dan negara-negara Timur Tengah untuk mengamankan pasokan bahan baku (e.g., neon, helium).
Titik Kritis Konflik (2024-2025)
- Perang Subsidi:
- AS dan China saling menuduh praktik subsidi tidak adil di WTO.
- Eropa ikut merespons dengan “European Chips Act” senilai €43 miliar.
- Spionase Industri:
- Kasus pencurian IP (hak kekayaan intelektual) marak. AS menuduh China melakukan industrial espionage di pabrik TSMC Arizona.
- Krisis Taiwan:
- Ketegangan di Selat Taiwan meningkat karena 60% chip global diproduksi di TSMC. AS bersiap skenario darurat jika China menyerang Taiwan.
Perang semikonduktor AS-China bukan sekadar persaingan dagang, tetapi pertarungan untuk menentukan siapa yang menguasai “mata uang” era digital—chip. Dampaknya akan dirasakan oleh semua negara, mulai dari kenaikan harga gadget hingga risiko perang dingin teknologi. Pada 2025, dunia mungkin akan terbagi menjadi dua blok teknologi yang saling bersaing: satu dipimpin AS, satu lagi oleh China.