JAKARTA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menuding Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto melanggar konstitusi setelah kebijakan pemotongan anggaran di sektor kritis. Tuduhan ini muncul menyusul keputusan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mengurangi alokasi dana pada program-program yang dianggap YLBHI sebagai pemenuhan hak konstitusional masyarakat.

Latar Belakang Pemotongan Anggaran
Menurut dokumen anggaran yang dirilis akhir pekan lalu, Kemhan mengusulkan penyesuaian anggaran tahun 2024 dengan memangkas belanja untuk layanan publik, termasuk dana bantuan hukum dan program jaminan sosial. Meski belum dikonfirmasi besaran pastinya, sumber internal pemerintah menyebutkan pemotongan mencapai 15-20% di sektor non-pertahanan. YLBHI menilai langkah ini berdampak pada akses masyarakat miskin terhadap keadilan dan perlindungan sosial.
Argumen YLBHI: Pelanggaran Pasal 28D dan 34 UUD 1945
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menegaskan bahwa pemotongan anggaran tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas kepastian hukum, serta Pasal 34 tentang kewajiban negara dalam memelihara fakir miskin dan anak terlantar. “Pengurangan dana bantuan hukum membatasi akses masyarakat marginal ke pengadilan. Ini jelas inkonstitusional,” tegas Isnur dalam konferensi pers (15/9).
YLBHI juga merujuk pada UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum, yang mewajibkan negara mengalokasikan anggaran bagi layanan bantuan hukum gratis. Pemotongan ini dinilai mengabaikan mandat tersebut, sekaligus berpotensi meningkatkan ketimpangan sosial.
Respons Prabowo dan Pemerintah
Hingga kini, Prabowo Subianto belum memberikan pernyataan resmi. Namun, juru bicara Kemhan menyatakan bahwa penyesuaian anggaran bertujuan meningkatkan efisiensi di sektor pertahanan, terutama untuk modernisasi alat utama sistem pertahanan (Alutsista). “Prioritas kami adalah menjaga kedaulatan negara. Penghematan di sektor lain bersifat sementara dan tidak mengurangi komitmen pemerintah terhadap hak warga negara,” klaimnya.
Reaksi Publik dan Ahli Hukum
Kebijakan ini memicu kritik dari pegiat HAM dan ahli hukum tata negara. Prof. Maria Farida Indrati, pakar hukum konstitusi, menyatakan bahwa meski pemerintah memiliki kewenangan mengatur anggaran, hal itu tidak boleh mengabaikan kewajiban konstitusional. “Jika pemotongan menyebabkan pelayanan publik esensial terhambat, MK bisa saja membatalkannya melalui judicial review,” ujarnya.
Di sisi lain, sebagian ekonom mendukung langkah efisiensi anggaran, asalkan dialihkan ke program produktif. Namun, YLBHI menekankan bahwa anggaran untuk hak dasar tidak boleh dikorbankan.
Implikasi dan Langkah Hukum
YLBHI mengancam akan mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika pemerintah tidak merevisi kebijakan tersebut. Mereka juga mendesak DPR untuk mengawal proses anggaran agar sesuai dengan amanat konstitusi.